Oleh: Zulkifli Ari/Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universias Fajar/ Teman Pencerita
![]() |
Singa laut maupun burung camar yang berkaok-kaok tidak akan pernah menelantarkan sesamanya. Mengapa manusia begitu berbeda dalam hal ini?
Setelah membaca 2x selama kurang-lebih 2
jam (saya bisa seperti itu sebab buku ini hanya setipis irisan tempe di kantin
sekolah) buku “Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub” karya Claudio
Orrego Vicuna yang diterjemahkan oleh Ronny Agustinus, sekelebat saya mengingat
bacaan saya terhadap Soren Kierkegaard mengenai “Kesatria Iman” yang akan
terbagi menjadi tiga tahapan; (1) Tahapan Estetis, (2) Tahapan Etis, dan (3)
Tahapan Religius.
Namun
ditulisan ini saya hanya akan membahas “Tahapan Religius” (tentu saja dengan
pertimbanganku sendiri dan agar kau tidak merasa jenuh membacanya terlalu
panjang);
Meminjam penjelasan Soren Kierkegaard,
Tahapan Religius ialah tahapan tertinggi dari ke-eksistensial-nya manusia dan
sekaligus menembus inti paling dalam dari manusia, sebab tahapan ini menuntut
penyerahan diri kepada Tuhan dan tidak memikirkan masalah duniawi lagi. Analogi
yang dipakai Kierkegaard sebagai contoh pada tahapan ini adalah Abraham (dalam
tradisi Islam disebut Ibrahim).
Novelet ini di buka dengan kalimat “Mungkin
keadaan bisa tidak demikian. Tetapi toh inilah yang terjadi. Bisa apa kau
apabila Tuhan sudah berkehendak atas hidup seekor beruang?” (hal: 3) dengan
kalimat pembuka seperti itu pembaca paling pemula sekalipun (tentu saja seperti
saya yang malas mikir) akan sadar bahwa tokoh utama telah menyerahkan segalanya
kepada Tuhan. Lalu seperti halnya Abraham atau siapapun manusia di dunia ini,
ia akan membutuhkan waktu untuk sendiri, “Sepertinya pembawaan alamiah kita
memang mengharuskan, sesekali dalam suatu waktu, kesempatan untuk bisa
sendirian, tanpa merisaukan apapun, absen dari dunia di sekitar kita” (hal:
29).
Singkat cerita, si beruang kutub akhirnya
harus menerima nasib menjalani kehidupan di kebun binatang (dengan kandang
terpisah dan harus sendiri di dalamnya). Lalu ia mulai mempelajari manusia
beserta sifatnya yang berbeda-beda, dan ia sangat senang dengan anak-anak,
bahkan ia merasa iri dengan hewan lain jika anak-anak lebih memilih melihat
hewan lain ketimbang melihatnya (percayalah seperti halnya si beruang kutub,
manusia juga akan merasakan hal yang sama; tentu saja jika kau setuju dengan
konsep tatapan (gaze) ala Lacanian). Namun meski harus hidup dalam sebuah kebun
binatang (baca: penjara) dengan waktu yang lama, si beruang kutub masih bisa
menunjukkan kebebasan eksistensialnya dengan berkata, “Sebelum itu terjadi, tak
ada gunanya mengurung kami di balik jeruji. Orang lebih bebas di balik jeruji
ini ketimbang di luarnya, di kota-kota kelabu yang tak mengenal riangnya
terang..., bahwa kuperoleh kebebasanku saat berada di balik jeruji penjara dan
bahkan akumenganggap diriku lebih tinggi dibanding para pengurungku.” (hal: 66)
Dan untuk keseluruhan cerita dari novelet
ini, sila bacalah saja sendiri. Ingat buku ini hanya setipis irisan tempe di
kantin sekolah (setidaknya itu menurut saya, yang setiap melihat buku tipis
jadi mengingat irisan tempe di kantin sekolah dan tentu saja saya juga ingin
melahapnya dengan sekali duduk, mosok iya tempe di tenteng-tenteng kesana-kemari).
Seperti yang kita ketahui bersama (soalnya
ada di sinopsis belakang buku ini dan biodata penulis) Claudio Orrego Vicuna
adalah seorang cendikiawan dan politisi Cile pasca kudeta militer 1973, buku
ini adalah satu-satunya karyanya yang ditulis sebagai karya sastra, novelet ini
adalah alegori politik tentang hidup di bawah kediktatoran, dan penyemangat
bagi siapa saja yang sedang tertindas agar tidak menyerah dalam perjuangan
mencapai kebebasan sejati.
Secara keseluruhan novelet ini memiliki
tingkat penulisan yang sederhana (lagi-lagi ini hanya pendapat subjektif saya),
namun yang membuat ia malampaui kesederhanaannya ialah gagasan mengenai manusia
dan kamanusiaan itu sendiri, padahal (seperti yang kita ketahui) tokoh utamanya
adalah seekor beruang dari kutub utara bernama Baltazar, dan dengan meminjam
suara Baltazar inilah sang penulis menuangkan gagasan-gagasannya mengenai
kemanusiaan dan perjuangan mencapai kebebasan sejati.
Dan seperti yang kita ketahui bersama bahwa
masyarakat (di zaman ini tentu saja) kebanyakan sedang dilanda fanatik beragama
dan sebagai akibatnya polisi moral berada dimana-mana, bahkan mungkin bisa saja
orang terdekatmu dan kau sendiri. Buku ini menjadi penting sebab mengajari kita
tentang kemanusiaan, arti memberikan cinta pada makhluk hidup lainnya, dan
perjuangan kebebasan.
Sebagai penutup saya sekali lagi ingin
meminjam suara si beruang kutub “Barangsiapa sanggup membaca apa yang ada di
balik mata seseorang, atau membaca spektrum sinar mentari di lembah, atau
membaca bayang pertama di atas salju putih pegunungan, ia akan bebas
selamanya.” (hal: 66).
Judul: Kenang-kenangan Mengejutkan Si
Beruang Kutub
Penulis: Claudio Orrego Vicuna
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri
Tebal: 68 halaman
Tahapan Religius Si Beruang Kutub
Reviewed by Kedai Buku Jenny
on
February 10, 2019
Rating:

No comments: