Penulis: Ikrana
Surel kami dibalas setelah sebelas
hari kami menunggu jawaban. Surel tersebut membawa pesan yang membuat saya
sulit untuk tidak tersenyum; sekretariat Urban Social Forum menyambut ajakan
kami untuk bekerjasama dan akan menyelenggarakan forum tersebut di Makassar. Saya langsung menghubungi beberapa kawan bahwa sebentar lagi forum yang tiap
tahun menjadi impian kami akan segera hadir di kota ini, dan kita sendiri yang
akan menyelenggarakannya. Saling membalas surel kemudian berganti menjadi percakapan
lewat telepon.
Tadinya, menghadiri Urban Social Forum adalah gagasan yang sangat jauh bagi saya. Sempat satu dua kali bayangan itu terasa nyata, dengan niat menyisihkan separuh dari uang jajan agar biaya perjalanan tak perlu membebani orang tua. Namun, hal tersebut tidak pernah terjadi. Satu-satunya hal yang bisa saya dan kawan-kawan lain lakukan adalah menitip buah tangan khas USF, entah itu kaos atau sekadar sticker, kepada satu atau dua orang kawan yang beruntung bisa mencapai Semarang atau Solo dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit. Hingga akhirnya program Sambang Kota yang diusung oleh sekretariat USF di tahun ini membuat bayangan itu menjadi benar-benar nyata.
Tadinya, menghadiri Urban Social Forum adalah gagasan yang sangat jauh bagi saya. Sempat satu dua kali bayangan itu terasa nyata, dengan niat menyisihkan separuh dari uang jajan agar biaya perjalanan tak perlu membebani orang tua. Namun, hal tersebut tidak pernah terjadi. Satu-satunya hal yang bisa saya dan kawan-kawan lain lakukan adalah menitip buah tangan khas USF, entah itu kaos atau sekadar sticker, kepada satu atau dua orang kawan yang beruntung bisa mencapai Semarang atau Solo dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit. Hingga akhirnya program Sambang Kota yang diusung oleh sekretariat USF di tahun ini membuat bayangan itu menjadi benar-benar nyata.
Hari-hari setelah surel tersebut
dibalas kemudian menjadi hari-hari panjang mempersiapkan forum tersebut dengan
sebaik-baiknya. Tantangan kami yang pertama adalah mencari fokus bahasan
diskusi yang akan disajikan. Masalahnya, permasalahan urban apa sih yang
Makassar tidak punya? Moda transportasi publik? Terpenuhinya hak atas perumahan
yang layak? Penggusuran? Banjir? Hak pejalan kaki? Ruang terbuka hijau yang
inklusif? Ya tentu saja hampir semua kota besar di Indonesia juga mengalami
permasalahan yang serupa.
Namun, untuk menentukan fokus bahasan diskusi yang bisa memantik keresahan warga Makasssar sepertinya menjadi satu hal yang harus kami pikirkan baik-baik. Kemacetan sudah menjadi hal yang normal, sebagai akibat dari meningkatnya pembelian kendaraan pribadi, juga sebagai akibat dari tidak tersedianya sistem transportasi publik yang layak bagi masyarakat. Banjir dan sampah sepertinya cukup Dinas Lingkungan Hidup dan truk Tangkasaki saja yang memikirkannya. Tidak usah pula repot-repot memikirkan trotoar untuk pejalan kaki yang juga inklusif bagi penyandang disabilitas, tidak akan ada yang sanggup berjalan kaki di bawah teriknya matahari Makassar. Kewajaran-kewajaran tersebut telah menjadi narasi dominan, dipercaya dan diyakini oleh lebih dari separuh warga Makassar yang sehari-harinya berjibaku di sepanjang jalan A.P. Pettarani, yang sampai hari ini masih dipenuhi alat berat untuk membangun tol layang.
Namun, untuk menentukan fokus bahasan diskusi yang bisa memantik keresahan warga Makasssar sepertinya menjadi satu hal yang harus kami pikirkan baik-baik. Kemacetan sudah menjadi hal yang normal, sebagai akibat dari meningkatnya pembelian kendaraan pribadi, juga sebagai akibat dari tidak tersedianya sistem transportasi publik yang layak bagi masyarakat. Banjir dan sampah sepertinya cukup Dinas Lingkungan Hidup dan truk Tangkasaki saja yang memikirkannya. Tidak usah pula repot-repot memikirkan trotoar untuk pejalan kaki yang juga inklusif bagi penyandang disabilitas, tidak akan ada yang sanggup berjalan kaki di bawah teriknya matahari Makassar. Kewajaran-kewajaran tersebut telah menjadi narasi dominan, dipercaya dan diyakini oleh lebih dari separuh warga Makassar yang sehari-harinya berjibaku di sepanjang jalan A.P. Pettarani, yang sampai hari ini masih dipenuhi alat berat untuk membangun tol layang.
Begitulah, diskusi dan pembahasan
berlangsung berhari-hari, beberapa kali diubah, ditambah dan dikurangi, hingga
akhirnya kami memutuskan untuk membumikan tiga tema besar, yakni mengenai ruang
publik yang demokratis, politik kewargaan dan perubahan wajah Makassar, serta
bagaimana membangun koalisi gerakan sosial demi berlanjutnya hal-hal baik yang
saat ini telah banyak dimulai oleh masyarakat di akar rumput. Meskipun terkesan
sedikit ambisius, kami mengusung tiga tema besar ini dengan harapan dapat
menjadi ruang untuk mempertemukan permasalahan-permasalahan yang lebih
spesifik, yang tindak lanjutnya masih kami pikirkan akan bagaimanakah bentuknya
di kemudian hari.
Setelah selesai membangun ide besar,
menentukan waktu dan lokasi, serta memastikan kehadiran seluruh narasumber dan
pengisi acara, kami dengan seluruh komunitas yang terlibat dalam
penyelenggaraan forum ini kemudian bertemu di tanggal 6 Februari untuk
mempersiapkan hal-hal yang lebih teknis. Petang itu Rumata’ Art Space
disibukkan oleh aktivitas pasang-memasang spanduk acara, mendiskusikan
sirkulasi dan mobilitas peserta diskusi, serta pengaturan panggung untuk acara
di malam hari. Semua bersemangat dan seperti tidak sabar untuk menyambut hari
esok, walaupun hari itu kami pulang ke rumah masing-masing dengan tubuh yang
kelelahan, dan dengan harapan bahwa besok langit akan cerah. Kami berjanji
untuk berkumpul lagi pukul 9 pagi.
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu
tiba. Sebelum matahari 7 Februari terbit, pukul 4 subuh langit Makassar
bergemuruh dan menangis sejadi-jadinya. Gemuruh tersebut mampu membangunkan
saya dan membuat saya lemas, membayangkan bagaimana kami akan tetap
mempersiapkan dan melakukan segalanya di bawah gelapnya langit Makassar. Namun,
ada sedikit harapan bahwa biarlah subuh ini Makassar menghabiskan sedihnya,
siang nanti pasti akan cerah kembali. Entah dari mana datangnya keyakinan itu.
Hingga pukul 8 pagi, hujan Makassar tidak kunjung berhenti. Di sepanjang perjalanan
menuju Rumata’ Art Space, lirik lagu GAS! oleh FSTVLST terus terngiang di
kepala saya.
Berjalan
tak seperti rencana adalah jalan yang sudah biasa
dan jalan
satu-satunya jalani sebaik kau bisa
Baris di lagu tersebut seperti menjadi
mantra dan barangkali menjadi cara bagi saya untuk menghibur diri sendiri.
Namun tetap saja, saya tidak bisa menyembunyikan raut kecewa. Saya memasuki
ruang utama di Rumata’ Art Space disambut oleh kawan-kawan lainnya yang telah
lebih dulu datang. Melihat bagaimana mereka tetap menjalankan dan mengerjalan
semuanya, lagu Gas! terngiang semakin kencang di kepala saya. Pesan semangat
dikirimkan oleh Kak Nita yang tidak sempat hadir, diikuti harapan bahwa semoga
langit memberkati. Tidak ada jalan lain selain bersahabat dengan cuaca hari
ini, lalu mengubah total konsep acara yang seharusnya ber-setting outdoor.
Selepas ibadah salat Jumat, peserta diskusi rupanya berdatangan. Kawan-kawan
datang dengan pakaian dan rambut basah sebagian. Namun, mereka tetap mengisi
lembaran registrasi, menulis sesuatu di sticky notes, menaruh
di dinding yang telah kami sediakan, lalu duduk di salah satu kursi menghadap
ke layar.
Satu-persatu berdatangan dengan payung
dan jas hujan, hingga tanpa disadari ruang utama Rumata’ Art Space menjadi
penuh dan kami harus menyediakan kursi tambahan. Sementara ruang utama sudah
siap digunakan untuk menjadi lokasi diskusi Panel 1, sebagian kawan kami masih
sibuk berurusan dengan genangan air di teras belakang untuk mempersiapkan
lokasi diskusi Panel 2. Kerasnya suara hujan bertemu kanopi teras menjadi irama
yang mengiringi kawan kami mengeringkan kursi-kursi tong yang sehari sebelumnya
telah diangkut dari Kedai Buku Jenny.
Walaupun mesti bersusah payah
menaikkan volume suara, masing-masing pembicara di setiap panel tetap
mempersembahkan materi terbaiknya untuk memantik peserta diskusi. Membagikan
pengalaman dan pengetahuannya tentang kota dan tentang Makassar. Di Panel 1 ada
Bapak Dr. Andi Faisal, S.S., M.Hum. serta Ibu Sri Aliah Ekawati S.T., M.T.,
yang membahas mengenai ruang publik di Makassar. Diskusi diawali oleh curhatan
peserta diskusi mengenai pengalamannya dengan ruang publik di Makassar, baik
itu yang bersifat fisik maupun non fisik.
Peserta lebih banyak bercerita mengenai sulitnya menemukan ruang publik selain yang ada di dalam kawasan perumahan elit. Pak Faisal akhirnya menjelaskan mengenai keterkaitan antara ruang dan kapitalisme, serta bagaimana hubungan keduanya akhirnya menciptakan ruang yang semakin abstrak dan homogen. Ibu Aliah menambahkan penjelasan mengenai hal tersebut dengan memberikan satu contoh yang terjadi di kawasan Pantai Losari. Pantai Losari dulunya adalah ruang publik yang luas dan memanjang. Namun, saat ini hampir lebih dari separuh kawasan tersebut diprivatisasi, dibangun hotel dan restoran, serta pembangunan Centre Point of Indonesia.
Peserta lebih banyak bercerita mengenai sulitnya menemukan ruang publik selain yang ada di dalam kawasan perumahan elit. Pak Faisal akhirnya menjelaskan mengenai keterkaitan antara ruang dan kapitalisme, serta bagaimana hubungan keduanya akhirnya menciptakan ruang yang semakin abstrak dan homogen. Ibu Aliah menambahkan penjelasan mengenai hal tersebut dengan memberikan satu contoh yang terjadi di kawasan Pantai Losari. Pantai Losari dulunya adalah ruang publik yang luas dan memanjang. Namun, saat ini hampir lebih dari separuh kawasan tersebut diprivatisasi, dibangun hotel dan restoran, serta pembangunan Centre Point of Indonesia.
Sementara itu, Panel 2 yang
berlangsung di halaman belakang Rumata’ diisi oleh Slamet Riadi, Nurhady
Sirimorok, Edi Ariadi, serta perwakilan dari ARKOM Makassar. Panel ini diawali
oleh keresahan dari beberapa peserta diskusi terkait perubahan wajah Makassar
yang tentu saja merugikan dan semakin meminggirkan kelompok-kelompok rentan di
kota ini.
Slamet Riadi sebagai pembicara pertama kemudian memaparkan keterangan mengenai dua hal yang menjadi momok dalam mempengaruhi Kota Makassar, yakni pembangunan yang semakin masif dan tidak terarah serta banyaknya ruang-ruang publik yang beralih fungsi menjadi ruang privat.
Slamet Riadi sebagai pembicara pertama kemudian memaparkan keterangan mengenai dua hal yang menjadi momok dalam mempengaruhi Kota Makassar, yakni pembangunan yang semakin masif dan tidak terarah serta banyaknya ruang-ruang publik yang beralih fungsi menjadi ruang privat.
Nurhady Sirimorok bahkan menambahkan
bahwa pada akhirnya perubahan tersebut akan membuat kita semua menerima dan
beradaptasi pada penutupan ruang-ruang publik. Kota makassar mengalami
gentrifikasi (semakin banyak kawasan di kota yang hanya diisi oleh
fasilitas-fasilitas yang hanya bisa dijangkau oleh kalangan tertentu) yang mana
orang-orang miskin hanya bisa mengakses perumahan yang jauh dari kota dan
semakin hari akan semakin jauh. Hal tersebut kemudian mengafirmasi bahwa
mekanisme kapitalisme yang ada di Makassar akan terus beputar sampai ada
kekuatan lain yang dapat menghentikannya.
Panel ini banyak mendiskusikan perihal
pengorganisasian politik kewargaan yang dapat dilakukan, hingga akhirnya dapat
menjadi sebuah kekuatan yang mampu menghentikan proses-proses yang banyak
meminggirkan kaum rentan tadi. Akhirnya seluruh peserta berkumpul kembali di
ruang utama di diskusi panel ketiga, untuk membahas strategi, metode, hingga
berkoalisi demi terwujudnya gagasan another city is possible.
Menuju petang hujan berhenti turun dan
guntur berhenti bergemuruh. Tersisa satu dua tetes yang jatuh dari dahan dan
daun pohon di halaman belakang Rumata’ Art Space. Kami semua berpindah untuk
mempersiapkan panggung, memindahkan pengeras suara dari ruang utama, dan juga
mengangkat kursi-kursi. Beberapa pengisi acara malam telah berdatangan,
sedangkan beberapa peserta diskusi yang bertahan dari siang hari justru
beranjak pulang. Meskipun hujan tidak turun lagi, kami memilih menggunakan
teras belakang berkanopi saja untuk acara malam.
Teras tersebut berukuran setengah lapangan voli, dengan sebuah kedai kopi kecil di ujungnya. Kursi-kursi kami atur acak menghadap ke panggung. Namun, ukuran teras yang kecil dan terbatas ini justru menciptakan suasana yang lebih akrab dan intim. Semua orang saling menyapa satu sama lain, hingga tercipta kelompok-kelompok kecil yang asik dengan obrolannya masing-masing, sembari tetap memperhatikan pengisi acara yang bergantian mengisi panggung.
Teras tersebut berukuran setengah lapangan voli, dengan sebuah kedai kopi kecil di ujungnya. Kursi-kursi kami atur acak menghadap ke panggung. Namun, ukuran teras yang kecil dan terbatas ini justru menciptakan suasana yang lebih akrab dan intim. Semua orang saling menyapa satu sama lain, hingga tercipta kelompok-kelompok kecil yang asik dengan obrolannya masing-masing, sembari tetap memperhatikan pengisi acara yang bergantian mengisi panggung.
Dibuka oleh penayangan Animasi Kampung
Kota Paropo 3S, cerita tentang Petepete di karya fotografi Aziziah Diah
Aprilya, serta penayangan film The Netra(L) karya Ulfa Evitasari. Setelah
ketiga karya visual tersebut, panggung kemudian diisi oleh penampilan Kolektif
Pop. Karya visual, musik, serta kalimat demi kalimat disuguhkan kepada penonton
yang hening. Di antara itu ada Kak Bob yang bercerita mengenai proses kreatif
pembuatan karya mereka, serta pesan apa yang berusaha disampaikan. Panggung
malam itu ditutup oleh suara merdu Om Has yang setahun terakhir jarang
terdengar.
Di akhir tulisan ini kami berterima
kasih kepada kawan-kawan yang telah memilih menjadi bagian dari Urban Social
Forum Sambang Kota Makassar. Walaupun semakin hari Makassar menjadi kian asing
dan sepertinya tidak peduli, mari kita bertemu lagi di forum lain untuk merawat
dan tetap mengusahakan, karena another city is possible!
Urban Social Forum Sambang Kota Makassar
Reviewed by Kedai Buku Jenny
on
February 24, 2020
Rating:
No comments:
New comments are not allowed.