Sebuah Review:Tidak Ada Raden Mandasia dalam ‘Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi’


sumber foto https://www.google.com/search?q=raden+mandasia&safe=strict&client=firefox-b-ab&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjxrMf1uqngAhUbinAKHVNRAAcQ_AUIDigB#imgrc=lmtSIepZk7S8pM:


Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi merupakan novel karya Yusi Avianto Pareanom yang saya baca setelah direkomendasikan oleh beberapa teman. Banyaknya dorongan untuk membacanya dan sebab menariknya cerita yang disajikan, akhirnya membuat saya berhasil menyelesaikannya dalam jangka waktu 6 hari. Hmm... Tidak biasanya saya menyelesaikan satu bacaan dalam waktu sesingkat itu, sebab saya terlampau mudah terlena oleh rasa malas.

Ya, tidak disangkal memang. Sajian cerita yang menarik dalam novel tersebut, membuat saya dibuat penasaran untuk terusmengetahui kelanjutannya. Yusi berhasil membangun imajinasi yang megah di dalam kepala saya melalui khazanah kisah yang dia hadirkan dari berbagai masa dalam satu novel.Selain itu, yang juga mengagumkan ialah teknik penceritaan yang digunakan, pada novel ini Yusi menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu, ialah sudut pandang seorang pangeran berusia sekitar 18 tahun dari Banjaran Waru, bernama Sungu Lembu. Ketika membaca novel tersebut, kita akan benar-benar merasakan bagaimana menerima cerita dari seorang remaja berumur 18 tahun:blak-blakan dan penuh umpatan ketika hendak menyatakan kekaguman, ala-ala anak muda.

Bila pernah menyaksikan sinetron yang tak asing dengan hal terkait kerajaan, petualangan, berkuda dan peperangan, seperti Angling Darmaatau Brama Kumbara, maka seperti itulah cerita dalam novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi dikemas: arkais dan kolosal.

Novel tersebut pun kaya akan diksi, ada banyak sekali diksi yang masih asing dan bahkan baru saya ketahui artinya setelah membaca novel tersebut, membuat saya harus selalu siap membuka KBBI bila menemukan diksi yang tak saya pahami. Mengambil latar cerita di masa kerajaan Jawa, maka diksi-diksi yang digunakan pun ialah yang mewakili masanya, seperti: ‘mendusin’ yang berarti bangun atau tersadar; ‘semaput’ yang berarti pingsan; ‘rudin’ yang berarti miskin sekali, dan masih banyak lagi yang lain.

Hal lain yang membuat saya tertarik secara pribadi ialah bagaimana cara Yusi menjelaskan waktu, ukuran panjang atau jarak yang saya tidak tahu berapa ukurannya pastinya bila diubah ke dalam menit dan meter. Sesuai latar cerita, maka segala yang modern-modern sebisa mungkin dihindari. Sehingga, digunakan ‘sepengunyahan sirih’atau ‘dua kali penanakan nasi’ untuk menyatakan waktu, sedangkan untuk menyatakan jarak, digunakan ‘tiga hari perjalanan berkuda’, ‘satu lengan’, atau ‘dua tombak’. Membuat saya berpikir keras tentang kepastian ukurannya.

Namun disamping semua itu, untuk menyeimbangkan, maka saya pun akan membahas apa yang menurut saya menjadi kekurangan dari novel tersebut.

Sebagai pembaca, sinopsis tentu menjadi jembatan untuk memberikan gambaran awal tentang isi novel. Kemudian, ketika saya membaca sinopsis pada paragraf kedua yang tertulis di sampul bagian belakang novel tersebut, ekspektasi terhadap isi novel pun berhasil terbangun. Namun ternyata apa yang dituaikan di dalam novel tersebut, tidak semendebarkan dengan yang ada dalam sinopsis, menggantung. Seperti saat bagian Raden Mandasia bersama Sungu Lembu dan Loki Tua yang katanya ‘menantang maut di gurun’ dalam perjalanannya menuju Gerbang Agung. Di dalam cerita, ketegangan yang diharapkan muncul saat dalam kondisi menantang maut kemudian tidak hadir secara maksimal, sebab apa yang diceritakan hanya sekadar bagaimana mereka bertiga berkuda dan berlari di gurun untuk menghindari badai tanpa adanya kondisi-kondisi yang mungkin bisa menambah ketegangan, misalnya terjebak dan mencoba keluar dari pusaran badai itu sendiri.

Selanjutnya, tidak adanya relevansi antara judul dengan cerita secara keseluruhan. Informasi-informasi terkait Raden Mandasia sendiri sangat minim. Dapat  dikatakan cerita sepenuhnya hanya mewakili pribadi Sungu Lembu sebagai pencerita. Semakin menuju ending, cerita pun seolah diburu-buru untuk segera diselesaikan, ada beberapa bagian cerita yang menurut saya masih memerlukan penjelasan namun diceritakan secara praktis, pada bagian awal pun ada beberapa yang dijelaskan secara panjang dan bertele-tele seperti pada bagian bagaimana perjalanan Nyai Manggis menitih hidup sebagai seorang pelacur serta mempelajari ramuan-ramuan dari Nyi Bandempo dan pada bagian bagaimana Banyak Wetan mengajari Sungu Lembu tentang ilmu-ilmu yang dimilikinya, yang sebenarnya bila dipotong juga tidak bakal mengganggu cerita secara keseluruhan.

Pemerolerahan informasi tentang Raden Mandasia yang senang mencuri daging sapi seolah dikaburkan dengan penjelasan atas hal lain yang sebenarnya bukan inti dari cerita. Tidak ada Raden Mandasia.

Tapi terlepas dari peniliaian yang 'mungkin'subjektif ini. Novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi adalah novel yang wajib menjadi list bacaanmu!

Penulis : Wahyuni Hasdar / Teman Pencerita
4 Januari 2019
Sebuah Review:Tidak Ada Raden Mandasia dalam ‘Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi’ Sebuah Review:Tidak Ada Raden Mandasia dalam ‘Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi’ Reviewed by Kedai Buku Jenny on February 07, 2019 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.