Memutuskan membaca novel ini satu
hari sebelum ulang tahun ke 33, menurut saya sebuah keputusan yang salah. Setelah menghabiskannya dalam sehari, Eva beserta semesta hidupnya
menghempaskan saya dengan keras pada
perjalanan panjang yang saya lalui.
Yah, ini bukan novel biasa, Eva
bahkan bukan perempuan biasa. Lahir dari rahim seorang pekerja seks dan ayah
seorang seniman kaya pecandu narkoba adalah guratan takdir yang tak bisa ia
pilih. Kebingungan, kemarahan, ketidaktahuan dan kejijikannya terhadap muasal
dirinya, membuat Eva dengan berani menggariskan hidupnya sendiri pasca tamat
SMA, menuju kehidupan kampus bermodalkan kerja paruh waktu dan beasiswa negara. Perguruan tinggi mempertemukan Eva dengan
realitas baru, ia menyaksikan ketimpangan kecurangan kemasabodohan dalam waktu
bersamaan sekaligus. Alih-alih mendapatkan jawaban atas tanya dalam dirinya,
Eva menemukan tanya dan jawaban baru pasal struktur berwarganegara yang
diuatakatik dan agama yang dimanipulasi.
Basis pengetahuannya yang memadai saat
mahasiswa, meluruskan jalan Eva menjadi seorang reporter. Kecurigaan dan
pandangannya yang visioner untuk setiap liputan yang ia wartakan menjadikannya
figure cemerlang di tempat kerja. Eva berhasil menunjukkan kemilau cahayanya di
usia yang masih muda, dan punya Mada pula,
pacarnya, seorang mahasiswa Seni Rupa, yang bersamanya menjalani
hubungan jauh dari ke-lebay-an anak muda jaman now. Namun, di tengah kegemilangan prestasinya, Eva tidak
menakar kemampuannya menerima kenyataan
kenyataan pahit yang memburunya bersamaan dengan pencarian menyeluruh
terhadap dirinya sebagai seorang manusia. Menemui perselingkuhan pacarnya,
kebobrokan sistem kerja di tempat kerjanya, kebusukan pemerintahan di
negaranya, Eva bergumul hebat dengan ide-ide falsafah keadannya lalu akhirnya
memutuskan untuk menjadi tiada.
Apa yang membuat Eva menjadi
istimewa atau tidak biasa? Di awal
membacanya, di bab pembukaan yang pendek, saya bahkan bergumam kalau saya salah
pilih bacaan kali ini. Eva yang muncul dengan raungan atas kacau balau hidupnya
mengingatkan saya dengan kisah perempuan di
Tuhan Ijinkan Aku Jadi Pelacur nya Muhidin M Dahlan. Setelah membeli buku
itu 2 kali dan hilang dua kali pula, kami sampai pada kesimpulan bahwa tokoh itu terlalu dangkal berpikir ketika
memutuskan menjadi pelacur sebagai jawaban atas peliknya aturan agama yang
mengikatnya kala itu. Pikir saya, Eva mungkin sama tidak cerdasnya dengan tokoh
itu, karena membaca plot awal, saya
sudah bisa menebak bahwa Eva akan bunuh diri. Walau begitu, saya tetap
melanjutkan kisahnya.
Alasan saya sangat simbolik. Saya
penasaran dengan judul setiap bab yang menggunakan bahasa yang tidak saya
mengerti dan setiap bab itu diwakili oleh symbol yang sering saya lihat dan
saya bahkan tidak tahu itu adalah symbol yang menandakan sesuatu. Cilakanya,
saat itu hingga sekarang saya tidak terkoneksi dengan internet sehingga tidak
ada daya saya selain membacanya lebih lanjut daripada berkubang penasaran. Dan
saya tidak menyesal, di bab ketiga dan seterusnya, Rhy Husaini, penulisnya
memperlihatkan penyajian cerita yang berbeda. Pergulatan demi pergulatan ide
disajikan dengan ciamik. Mulai isu korupsi di lembaga Pendidikan Tinggi,
pertarungan ide Marxis untuk direlevansikan di Indonesia,tentang kegagalan
kaderisasi di lembaga-lembaga kemahasiswaan baik internal maupun ekesternal
kampus, tentang falsafah muasal manusia dan
ketunggalan Tuhan yang dikawinkan secara brillian dengan kisah-kisah babad
tanah Jawa yang asing namun menjadi masuk akal di kepala saya. Bab selanjutnya, Rhy menyentuh sakralitas
beragama. Dan dia sama sekali tidak memilih berhati-hati.
Biasanya jika buku itu ditulis
oleh penulis yang tidak saya kenal, saya akan menunggu setelah karyanya habis
saya baca, lalu menelisik penulisnya demi
alasan subjektivitas. Tapi, karena penasaran lagi, saya mengintip si Rhy
Husaini ini. Dia masih mahasiswa ternyata. Saya ingat, untuk “22 –(Mu)” di halaman depan bukunya bisa saja adalah umurnya
sekarang. Sungguh, saya tidak membayangkan karya ini lahir dari seorang
mahasiswa yang terpaut 11 tahun di bawah saya. Ia memilih tutur bahasa yang
sangat berani, cenderung ugal-ugalan tapi sesekali putis. Ia menuturkan ide-ide yang tidak pop untuk diangkat dalam
novel dan sekali lagi, itu pilihan yang
berani. Saya makin penasaran dengan buku
apa yang ia konsumsi sejak kecil.
Alur mundur konsisten dipilih Rhy
untuk mengemas kisah Eva dan sama sekali tidak membosankan. Walau banyak kajian
ilmiah yang ia paparkan secara langsung dan tidak langsung, novel ini tidak
meninggalkan khittahnya sebagai karya sastra. Kesimpulan-kesimpulan yang
ditarik penulis pun dalam banyak plot menurutku tidak ia biarkan sebagai ruang
untuk menggurui pembacanya. Yang sedikit
mengganggu saya adalah kehadiran cerita feodalisme dalam dunia kerja dalam hal
ini pramugari yang muncul lewat sosok G, sahabat si Eva. Walau sebenarnya yang
ia paparkan fakta menarik, namun kisah ini tidak mengutuh dalam cerita, terkesan
dipaksakan.
Namun, yang paling bikin saya
tidak bisa berhenti membaca buku ini adalah simbol-simbol yang saya sebutkan di
awal tadi. Simbol ini dijelaskan di bab sebelum akhir tulisan yang menjelaskan
dirinya sejak 270 hari sebelum
memutuskan bunuh diri. Walau begitu, saya belum mengerti sepenuhnya. Fakta
untuk smbol tersebut, harusnya ada di tulisan ini, jika saja paket dataku
sudah aktif. Tapi memupuk penasaran itu penting, ia akan membawamu pada haus
yang tak berkesudahan.
Sebelum menutup, ada dua hal lagi yang menarik. Pertama, Eva membeberkan
fakta kekinian Jogja yang sedang menuju pembangunan skala besar berkiblat pada
modernisasi a la kapitalisme lewat pertemuannya dengan Mas Dodok penggagas gerakan “Jogja Ora Didol”, bisa jadi wawancara ini fakta. Dan yang kedua, Si Eva dan temannya G sempat nonton konser
akustiknya Jenny (sebelum berubah menjadi FSTVLST) dan mendengarkan Mati Muda
yang dilantunkan bersama Frau. Kalau kalian dengar via youtube, menurut saya sekali
lagi bisa jadi, lagu itu lah yang menguatkan Eva untuk bunuh diri di usia muda.
“Hidup tidak perlu terlalu lama jika dosa yang berkuasa. Jika harus mati, maka
matilah.”
Dan akhirnya, kalian mahasiswa dan
anak anak muda harus membaca novel ini. Ada realitas yang mungkin, ada fakta
yang juga terjadi di depan mata kita, ada pergulatan intelektual, ada
diskursus, ada kuliah umum, dan ada Jenny di buku ini. Setelah membaca, kalian
mungkin akan mengangguk setuju atau marah memaki karena tidak sepaham.
Begitulah karya, ia harus dibicarakan. Sayangnya, buku ini sudah Sold Out di
Kedai Buku Jenny, jadi selamat berburu.
Mengakhiri November yang manis
dan basah
Harnita Rahman
Menemukan Eva
Reviewed by Kedai Buku Jenny
on
November 30, 2017
Rating:

Menarik artikelnya.
ReplyDeleteBoleh minta kontak wa ibu harnita