Sebuah
karya sastra tidak lahir begitu saja, tetapi melalui perenungan panjang tentang
hidup dan kehidupan. Melalui karya sastra, representasi hidup digambarkan lewat
sudut pandang penulis, dengan cara yang beragam dan unik. Buku sebagai karya
sastra seringkali menjadi ruang temu bagi pembaca dengan kisah-kisahnya
sendiri. Saat membaca buku, kita mugkin pernah merasa ikut terseret ke dalam
alur yang dikisahkan buku tersebut. Entah karena hal yang sama pernah dialami
atau kesempatan yang sama pernah terjadi pada diri kita. Bahkan mungkin,
sesuatu yang baru telah kita pelajari–sehingga membuat kita tercengang, marah,
bahagia, sedih, atau bahkan kecewa dan merasa tolol setelahnya–lewat buku yang
dibaca. Buku menjadi representasi yang kompleks dengan menghadirkan berbagai
konteks yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Ada beragam definisi
mengenai buku sebagai sebuah karya sastra yang cukup kompleks dalam membahas
persoalan manusia dan kehidupannya.
Melalui
Panik di Perpustakaan yang diadakan oleh Kedai Buku Jenny pada Jum'at, 1
Februari 2019. Definisi pada umumnya di dekonstruksi dan di alihwahanakan melalui
media “bercerita”. Setiap orang barangkali adalah buku dan setiap buku bisa
merepresentasikan kehidupan orang lain. Maka malam itu, di Kedai Buku Jenny,
setiap yang datang diharuskan membawa buku yang menjadi kegemarannya; entah
buku tersebut adalah hasil pembelian atau pemberian, entah sudah lama atau
masih berplastik, entah sudah berkali-kali atau belum sempat ditamati. Pada
akhirnya, semua yang hadir harus bercerita tentang buku dan dirinya
masing-masing. Buku direpresentasikan sebagai hal yang hidup dalam kepala Teman
Pencerita.
Kesempatan
bercerita pertama diberikan kepada Rahmat malam itu. Di genggamannya, buku
berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, yang sudah ditamatinya
beberapa kali, terlihat menarik. Ia memulai dengan membaca beberapa paragraf
dari halaman yang menjadi favoritnya. Sependek yang saya ingat, halaman
tersebut berkisah tentang perpisahan Annelies dengan Minke dan Nyai Ontosoroh
yang tragis. Saya memahami emosi Rahmat saat menceritakan buku tersebut. Ia
menggambarkan bagaimana sebuah sejarah dikemas dalam kisah yang ringan sehingga
mampu membuat Rahmat membaca buku tersebut sampai tiga kali. Saya pun mengakui
kehebatan Pram dalam merepresentasikan sejarah yang pernah bergumul dengan
dirinya melalui sebuah karya sastra. Meskipun dengan sedikit bumbu fiksi,
setiap yang membaca Bumi Manusia akan merasa diseret menuju tahun-tahun penuh
pergolakan.
Meski
tidak seperti Rahmat yang menamati Bumi Manusia sampai tiga kali, saya memahami
ada gagasan besar yang hendak disampaikan Pram melalui karya-karyanya. Bukan
hanya perihal bumi yang menjadi hunian manusia, tetapi juga bagaimana manusia
memperlakukan tempat tinggalnya. Di sisi lain dari buku Pram yang dibaca
Rahmat, saya menemukan realitas kisah asmara Minke dan Annelies. Selama ini,
saya banyak membaca buku-buku bertema “romance”,
tetapi kisah Minke cukup membekas dalam kepala saya. Pembaca disuguhkan pada
kenyataan, bahwa cinta bukan hanya perkara saling membahagiakan, tetapi di atas
semua kebahagiaan itu, ada fase ketika seseorang yang dicintai harus bisa
direlakan kepergiannya.
Setelah
Rahmat selesai dengan ceritanya tentang Bumi Manusia, peserta yang lain secara
bergiliran mendapat kesempatan bercerita. Tidak banyak yang hadir malam itu,
masih bisa terhitung jari. Meski begitu, saya tidak bisa menghapal judul-judul
buku yang mereka bawa bersama cerita-ceritanya. Hanya beberapa saja, semisal
buku yang Fandy dan Dodi ceritakan, Hujan
Berkawali di Rumah Tuhan, "Saya mengenal buku kumpulan puisi penyair
Malaysia – Indonesia itu saat kegiatan MIWF 2018. Kebetulan, dari banyaknya
rangkaian kegiatan keren MIWF pada hari itu, hanya peluncuran buku Hujan Berkawali di Rumah Tuhan yang
sempat saya hadiri. Saya baru menyadari bahwa salah seorang penulis yang
berkonstribusi dalam buku tersebut berasal dari Makassar setelah kegiatan
tersebut selesai. Bukan bermaksud rasis, tetapi entah kenapa saya selalu merasa
ikut bangga ketika mendengar seseorang yang berasal dari kota tempat saya
tinggal menoreh prestasi lewat karyanya."
Kegiatan
Panik di Perpustakaan ditutup oleh Ami dengan buku kegemarannya, Tenggelamnya
Kapal Vander Wijck karya Buya Hamka. Bagi yang pernah menonton filmnya,
mendengar judul buku yang dibawa oleh Ami, tentu saja nama Zainuddin dan Hayati
akan melintas. Buku yang menceritakan tentang kisah cinta sepasang kekasih yang
terhalang restu orang tua karena adat. Sebuah realitas sosial yang barangkali
masih mungkin ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Kasta, tahta, dan harta
masih sering menjadi tolok ukur restu pernikahan. Entah karena sanksi budaya
atau gengsi sesama, pola pikir yang demikian kerap kali mencederai ruang
lingkup sosial kita. Akibatnya, kalau bukan kawin lari, mungkin gantung diri
(semoga tidak berlebihan). Terlepas dari sekelumit persoalan kebudayaan yang
dihadirkan dalam novel tersebut, kami teman pencerita dibuat tersenyum menahan
tawa dengan dialog yang dibacakan oleh Ami. Terbayang adegan Zainuddin dan Hayati dalam filmnya.
Terekam bagaimana dialeg Zainuddin dan Hayati seringkali dijadikan guyonan oleh
teman-teman saya di kampus.
Panik
di Perpustakaan sebagai rangkaian dari kegiatan Teman Pencerita malam itu ditutup
dengan tawa terbahak-bahak saat menyaksikan Dodi beberapakali megikuti cara
Zainuddin berdialog dengan Hayati, lengkap dengan dialegnya. Sementara yang
lain saling menyambung ingatan tentang potongan film tersebut. Seringkali, buku
adalah ruang bagi dirimu untuk berbagi cerita, tawa, kebahagiaan, dan sekecil
apa pun itu, kepada orang lain.
Makassar,
2019
Cerita Singkat Perihal Panik di Perpustakaan
Reviewed by Kedai Buku Jenny
on
February 21, 2019
Rating:

Aku adalah bukumu, kau adalah bukuku, karena kita adalah Teman Pencerita 😅
ReplyDelete