Menurut
kalian, apakah semua pertanyaan tentang alasan mengapa kita melakukan atau
memutuskan sesuatu harus selalu diberikan eksplanasi panjang lebar dan kemudian
dikabarkan ke khalayak? Jawabannya pasti akan bervariasi.
![]() |
Rak Buku di Mini Library KBJ |
![]() |
Poster Publikasi KBJ |
![]() |
Store KBJ |
Ada yang akan menjawab tergantung pada kebutuhannya, atau kondisi dan situasinya dan yang terpenting menurutku adalah urgensi dan substansinya. Seberapa penting jawaban-jawaban itu dikabarkan ke “seluruh dunia”, lalu tentunya yang sebisa mungkin dipikirkan apakah semua itu membawa pesan “kenabian “.
Jangan merasa kotor dulu mendengar
istilah yang terakhir. Yang saya maksud, jangan sampai jawaban-jawaban atas
sesuatu yang telah kita lakukan atau putuskan berakhir tragis dalam kubangan
arogansi yang memperlihatkan wajah mendongak dan tangan yang seolah terulur
meminta jabatan tangan pengakuan dan kemudian berharap dapat mengais sedikit
elu-elu basa-basi, namun disana tak ada kabar tentang kebaikan, kebahagiaan
yang semuanya juga bisa dilakukan oleh siapa pun dengan cara dan di tempat yang
sederhana. Cuih!
“Bagaimana kalau Kedai Buku itu kita
beri nama Kedai Buku Jenny.” Seingatku begitu redaksi layanan pesan singkat
yang kukirimkan ke Aswin akhir tahun lalu. Dan lalu ia menyetujuinya. Dan
mulailah kami menyusun rencana untuk mewujudkannya. Mewujudkan mimpi bersama
teman-teman memiliki dan menjalankan sebuah kedai buku yang sederhana. Kedai
buku yang tidak akan menyaingi Gramedia apalagi menjadikannya surga yang semua
sudutnya hanya berisi buku. Jadi nawaitu kedai ini pada awal dan
akhirnya akan hanya berupa kesederhanaan. Semoga!
Sekitar beberapa bulan lalu, setelah
upaya yang lumayan keras akhirnya sebuah rumah yang sebenarnya lumayan mahal
untuk ukuran kami yang belum PNS berhasil kami kontrak. Dan dalam hitungan hari
bersama teman-teman lumayan berhasil kami make over menjadi kedai buku
yang betul-betul sederhana dan kami melakukannya bersama-sama dengan cara yang
sederhana pastinya. Hasilnya, di beberapa bulan pertama ini kami memiliki ruang
depan yang berisi jualan buku dari beberapa penerbit Jogja yang memberi diskon
lumayan besar.
Lalu di ruang tengah kami jadikan
sebagai perpustakaan. Disitu ada satu rak buku yang terbuat dari bambu hasil
kerja kolektif teman-teman setelah mendapatkan bambu gratis dari seorang kawan
di Maros. Selebihnya ada 3 kamar yang rencananya akan kami jadikan sebagai
kantor dan ruang galeri. Dan tentunya begitu banyak sudut yang akan kami
maksimalkan untuk menerjemahkan konsep yang kami usung; Almost Book Shop and
Barely Art Gallery. Termasuk halaman belakang yang lumayan luas yang
mungkin kini masih dipenuhi sampah peninggalan penghuni rumah sebelumnya.
Nah, di sela-sela aktivitas kedai buku yang berbenah diri, tak
sadar kami belum pernah secara serius menjawab pertanyaan yang datang dari
hampir semua penjuru mata angin. Mengapa Kedai Buku ini diberi nama Jenny?
Awalnya kami berpikir tak perlu memberikan jawaban pasti tentang alasan
penamaan kedai buku ini. Karena bagi kami ia bukan sesuatu yang baku seperti
angka dua yang merupakan hasil satu ditambah satu. Kalaupun ada yang masih
terus bertanya, maka kami akan menganjurkannya untuk datang bersama kami
menyibukkan diri dengan aktivitas-aktivitas di kedai buku ini dan selanjutnya
jawablah sendiri pertanyaan di atas. Tapi ternyata itu tidak cukup.
Dan kami masih belum terlalu peduli
bahkan ketika teman-teman yang intens di kedai buku mulai ikut bertanya dengan
pertanyaan yang sama karena terus mendapat pertanyaan yang sama dari
kawan-kawannya.
Dan pagi ini, kucoba memberikan
petunjuk menuju jawaban atas pertanyaan mengapa kedai buku ini diberi nama
Jenny. Tak bisa kami sangkal bahwa nama ini sangat terinspirasi oleh ben-benan
(setauku mereka tidak ingin betul-betul menjadi band yang lalu tujuan
terakhirnya adalah menjadi “terkenal”, sehingga mereka sering menyebut
aktivitasnya sebagai aktivitas ben-benan, semoga selamanya!) asal Jogja
yang bernama sama, Jenny. Ben-benan yang beberapa bulan lalu akhirnya
memilih mengganti abjad, kata seorang personilnya, dengan abjad baru dan
tentunya semangat baru, FESTIVALIST. Dan “mengistrahatkan” Jenny di altar yang
paling istimewa.
Karena ini hanyalah petunjuk menuju
jawaban, maka isinya hanya berupa kesan semoga bisa menangkap substansi. Mari
kita mulai. Kami bukan fans apalagi penggila ben-benan yang dulu bernama
Jenny ini. Sampai kami menamai kedai buku kami dengan nama Jenny pun kami tetap
bukan yang seperti itu. Tapi harus kami (khususnya saya dan kukira sawing juga
seperti itu, silahkan tanya ke dia langsung) akui bahwa ben-benan ini
ikut mempengaruhi cara kami melihat sesuatu dan bersikap terhadap sesuatu itu.
Ah hampir lupa, seharusnya kita kembali sepakat dulu bahwa proses belajar dan
kemudian mendapatkan kebijaksanaan (wisdom) bisa dari mana saja, bukan
begitu? Ya, mari lanjutkan karena kalaupun kalian tidak sepakat, paling tidak
saya mengakui itu.
Sejak mengenal ben-benan ini
dari satu tangisan akhir pekan ke tangisan akhir pekan berikutnya dan tentunya
menyelami liriknya lagu-lagunya hampir setiap hari dalam setahun lebih ini,
kami (sekali lagi berdua) belajar banyak hal yang sering justru kami dapatkan
dalam suasana riuh rendah panggung yang rendah, luas dan tentunya tanpa
barikade. Disana ada kesetaraan tanpa basa-basi yang lalu dirayakan dengan
tepukan tangan tanpa puja-puji yang berlebihan. Disana ada “khotbah” akan
pesan-pesan “kenabian” yang tak mengumbar ketakutan dan tentu tak berpretensi
“mengadili”. Dan selalu diselingi “doa” kepada Sang Maha Oke.
Dan saya sendiri selalu menghayati
sesi ini, yang menurutku tidak kalah syahdu dengan untaian syair Abunawas yang
dilafazkan bersama-sama setelah shalat Isya di pondok ku dulu. Dan
pelajaran yang tak kalah penting dari semua itu, bahwa pesan-pesan kebaikan
harus dikabarkan dengan banyak media
sehingga memungkinkan semuanya terlibat dalam proses menjadi baik. Bukankah tak
begitu nikmat mendapati surga tak berisi siapa-siapa kecuali hanya malaikat dan
bidadari-bidadari serta sungai kecil yang dialiri susu seperti yang dijanjikan
dalam kitab suci? Dan bagi kami, Jenny (ben-benan itu) menjadi salah
satu media itu. Media yang dengan caranya sendiri terus mengabarkan kebaikan
dan kebahagiaan yang sederhana.
Selanjutnya, Jenny bagi kami tidak
hanya sekedar ben-benan asal Jogja yang memilih “beristirahat” di usia
delapan tahun, tapi lebih dari itu ia adalah salah satu dari sekian banyak
simbol-simbol kebaikan dan kesederhanaan yang terpencar di semua sudut bumi ini
yang menanti untuk diterjemahkan menjadi laku nyata.
Dan, Kedai Buku Jenny adalah niatan
menjadi laku yang nyata itu. Menjadi rumah yang nyaman untuk pesan kebaikan dan
tafsir shahih bahwa bahagia itu tetap dan akan selalu sederhana!Doakan
kami istiqamah…
Petunjuk secuil ini tak pernah
berhasil kurangkai dalam deretan kata apalagi kata, hingga malam kemarin saat
berada di salah satu perayaan para Festivalist. Tak semenit tapi berdiri
didepan mereka mengabarkan niatan kami sungguh menjadi sebuah energi besar yang
tak sabar kutransfer menjadi energi lain. Terima Kasih FSTVLST!
Selanjutnya, silahkan menuju
petunjuk berikutnya! Mulailah dengan mengetuk pintu Perumahan Budi Daya Permai (BDP) Blok S, No.5 Tamalanrea, Makassar.
Jangan terlalu pagi karena biasanya mereka masih terlelap setelah perayaan
sederhana atas mimpi yang terus benderang malam sebelumnya. Dan kalau dalam
waktu yang tak lama lagi ini kalian tak bertemu Jenny di kompleks ini berarti
ia telah memiliki rumah baru. Dan kami akan segera mengabarkannya.
Selanjutnya, Rayakanlah!
=BOBHY=
Nama Kedai Buku itu, Jenny!
Reviewed by Kedai Buku Jenny
on
January 25, 2013
Rating:

No comments: