Ruang yang Saya Temukan dalam RuangBaca

Oleh Harnita Rahman

Salah satu yang membuat saya bersemangat di awal tahun kemarin adalah berita akan rilisnya album duo folk andalan kami, Ruangbaca. Walau sejujurnya, kegembiraannya sedikit tereduksi karena akan dirilis dalam bentuk digital dulu. Sungguhlah apes bagi saya yang tidak begitu tertarik memasang aplikasi music jenis apapun di ponsel. Tidak satupun. Ponsel saya tidak begitu pintar dan pilihan aplikasi music yang walaupun gratis masih terkalahkan dengan dentuman cd player di perpustakaan rumah kami tiap pagi. Namun kabar itu tetaplah menggembirakan. Toh saya, akhirnya mengambil jalan menikung dengan meminta langsung file mentahnya. 

Kali pertama, di 2015 kami berjumpa Ruangbaca. Secara personal, mereka sudah sering wara wiri di KBJ. Saat itu, mereka berdua masih mahasiswa. Viny selalu datang membawa banyak mimpi-mimpi besarnya di hadapan kami, tentu bersama Ale yang kelihatan tenang dan selow yang selalu pandai menyembunyikan kegregetannya akan sesuatu. Kami mendengar mereka melalui soundcloud dan seketika langsung percaya mengajak mereka ke luar kota. Saat itu gelaran Hutan Bernyanyi digelar KBJ bersama teman-teman Balang di Bantaeng. 

Dan pilihan kami tepat adanya. Kala itu, selepas hujan, panggungnya sudah  poranda, Ruangbaca dalam panggung perdananya terpaksa tampil di bawah tenda yang seyogyanya untuk penonton. Umbul-umbul sudah kendor, background yang tersisa hanya hamparan sawah. Gembiranya, karena pemandangan itu, ternyata hampir sempurna bagi Ruang Baca. Mereka membawa lagu Terbangnya Burung, Diam-diam dan Disleksia.  Saya takjub, bisa mengingat itu dengan hampir sempurna, biasanya saya payah dalam megingat sesuatu. Sejak itu, kami di KBJ percaya bahwa duo anak muda yang saat itu sedang kasmaran-kasmarannya akan menghasilkan sesuatu.

Menurut Viny, album ini sudah siap rilis sejak tahun lalu. Saya yang secara pribadi kerap menanyainya, menodongnya, meminta  atau kadang terkesan menyuruh perkara albumnya tahu betul bahwa Ruangbaca hampir lelah menunggu hari perilisan tiba. Secara emosional, psikologis, dan kesiapan materi menurut saya, membuat Viny dan Ale melewati banyak proses belajar, yang akhirnya di pertengahan Febuari tahun ini melepas albumnya yang ciamik ke pasar.

Proses panjang, yang dilalui Ruangbaca, seperti yang kita percayai “tidak akan menghianati hasilnya”. Ruangbaca memukau mata dan telinga pendengarnya. Ia mengemas rapih dan cantik proses peluncuran albumnya. Berkonsep, tidak asal-asalan dan yang utama melibatkan banyak orang dalam prosesnya. Hal ini tentulah kabar gembira, apalagi sejak awal Ruangbaca secara tegas menyatakan keberadaannya sebagai medium mengkampanyekan perpustakaan. Semakin banyak yang mendengar dan yang terlibat di album ini tentu adalah kabar baik bagi gagasan yang mereka usung.

Album Belantara Kata sejak sebelum direlease sudah wara-wiri di ruang dengar rumah kami. Puisi yang dinyanyikan Ale dan Viny hampir menemani kami menjalankani rutinitas keseharian, apalagi nomor-nomor andalan yang selalu mereka bawakan di panggung. Tapi jujur, baru setelah resmi diluncurkan, saya menyiapkan waktu sendiri untuk mendengarkannya secara seksama, kata per kata, bunyi menuju bunyi selanjutnya.

Menyanyikan puisi bukanlah hal yang baru dalam khasanah music kita. Tersebutlah Ari Reda yang melegenda karena karya-karyanya yang menyanyikan puisi Sapardi, Subagio Sastrowardoyo, dan beberapa penyair lainnya. Tahun lalu juga, ada Oppie Andaresta yang meluncurkan album musikalisasi puisinya bertajuk Baju Bulan, menyanyikan puisi-puisi Joko Pinurbo. Atau ada Melanie Subono yang kerap menyanyikan puisi-puisi Wiji Thukul. Dan bagi saya yang mengenal ragam music di kampus, tentu tidaklah bisa menegasikan kelompok-kelompok seni kampus yang kerap menjadikan puisi-puisi yang telah mereka baca menjelma dalam alunan music.
  
Dan, menurut saya Ruangbaca mencoba merombak batasan tersebut.  Hampir semua musisi yang berkonsep meyanyikan puisi, selalu menggunakan puisi orang lain, dan kebanyakan adalah puisi yang sudah dikenal, Ruangbaca setidaknya menulis 9 puisinya sendiri. Kemudian, puisi yang selama ini dinyanyikan, kebakanyakan maknanya telah menerima tafsiran yang beragam, yang menurut saya berpotensi untuk menegasikan komponen musiknya. Sederhananya, puisi tersebut sudah memiliki nyawanya sendiri yang tidak berubah saat dialunkan. Puisi Suara nya Wiji Thukul misalnya yang kerap dinyanyikan Melani Subono atau aransemen Bunga dan Tembok yang dibuat oleh Fajar Merah. Akan sulit melepaskannya dengan kenyataan sisi gelap sejarah bangsa kita yang melandasi puisi tersebut, dan jika saya dengar dalam aransemen beragam, suasana yang terbawa tetap sama, walau bukan berarti buruk .

Musik Ruang Baca sendiri, telah mengantar saya secara pribadi masuk dalam banyak suasana. Aransemen music yang ringan menurutku adalah pilihan tepat untuk menjelajahi puisi mereka. di Dalam lagu Dongeng, misalnya saya menemukan kebahagiaan dan keindahan sekaligus,  membayangkan fragmen masa kanak-kanak yang bahagia dan divisualkan dalam gerak lambat, jelas beserta ornamen warna-warni yang  indah. Di Balik Jendela, mempertemukan saya dengan harapan yang selalu bisa dimodifikasi tanpa mengurangi besaran nilainya. Belantara Kata, secara tegas menyandingkan kabar baik yang tidak berhenti bergema di tengah  gempitanya pembangunan kota. Hampir semua lagu yang saya dengar, memiliki ruang bicaranya sendiri dan itu menarik. Namun, diantara semua lagu di album ini, salah satu lagu yang membuat saya bersyukur adalah “Candu dan Hal-Hal yang Tak Kau Tahu.

Saat mendengarnya pertama kali dengan meperhatikan lirik per lirik, saya langsung terdiam. Menghentkan pekerjaan saya dan menangis. Satu-satunya yang saya pikirkan adalah betapa dewasanya mereka. Lagu ini dalam ruang dengar saya berhasil memporak-prandakan kesembongan yang kadang saya pelihara dan biarkan tumbuh membesar dalam diri saya. Hari itu, lagu ini saya putar berulang, berkali lalu menangis sejadinya. Dan begitulah puisi menurut saya, punya kuasa. Tapi, saya sadar betul, saya tidak akan semewek itu, jika puisi ini tidak disajikan dalam bentuk lagu.

Keputusan Ruangbaca menyanyikan pusinya sendiri, menurut saya memberikan ruang diskursus yang lebih lebar. Entah tafsiran personal atau kritik terhadap puisi atau pada gagasan mereka. Apakah puisi mereka hanya mengandalkan bunyi semata? Apakah puisi mereka bertumpu disksi dan repitisi saja? Apakah dalam keindahan kata yang terbalut music mereka menyimpan amarah yang besar atau mungkin harapan yang sia? dan banyak pertayaan semacam itu yang bisa muncul dari puisi yang mereka nyanyikan. Dan hal tersebut, sekali lagi tentu akan digiring pada berhasil atau tidaknya upaya pusi dan music ini dalam kampanye “belajar” yang diusung oleh Ruang Baca. 

Pertanyan-pertanyaan tersebut menanti kita semua untuk membicarakannya. Karena bagi saya, music adalah ruang belajar yang nyaris sempurna. Kau bisa berdialektika dan bergoyang bersamaan. Kau bisa berkontemplasi dan menari sekaligus. Kau bahkan bisa mengumpat sembari berdansa. Menakjubkan, bukan? dan ruang tersebut sungguh saya temukan saat mendengar Ruangbaca.

Tentunya, untuk semua proses yang saya lewati itu, terima kasih  Ruangbaca.
Ruang yang Saya Temukan dalam RuangBaca Ruang yang Saya Temukan dalam RuangBaca Reviewed by Kedai Buku Jenny on February 25, 2019 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.