Jogja Noise Bombing: From The Street To The Stage


Oleh Rahmat Maulana / Teman Pencerita



Di tengah bisingnya perdebatan perihal apakah noise itu musik atau bukan, Jogja Noise Bombing semakin meluaskan invasi kebisingannya. Dari yang awalnya hanya berupa pertunjukan noise ilegal di jalan-jalan, kini telah menjadisebuah pertunjukan noise besar yang dihadiri pegiat noise dari berbagai negara.Entah apa lagi selanjutnya.

Buku “JogjaNoise Bombing” ini adalah dokumentasi helatan Jogja Noise Bombing yang ditulis oleh Indra Menus (Jogja) dan Sean Stellfox (Amerika)yang diterbitkan dalam bentuk billingualbook. Hal ini merupakan sebuah langkah besar yang mereka lakukan dalam mendokumentasikan skenanya. Tidak banyak skenester di Indonesia yang bisa mendokumentasikan skenanya sebaik JogjaNoise Bombing.

Membaca Jogja Noise Bombing seakan membawa kita mundur beberapa tahun ke belakang menyaksikan mereka yang pada mulanya melakukannoisebombing ilegal di ruang-ruang publik lalu membawa kita kembali maju beberapa tahun kedepandan membayangkan akan seperti apa JogjaNoise Bombing atau JNB ini selanjutnya. Selain itu kita juga akan dibawa menyaksikan JNB dari berbagai sudut pandang, mulai dari pelaku noiselokal Jogja, daerah-daerah lain di Indonesia hingga dari sudut pandang pelaku noise dari berbagai negara yang telah merasakan atmosfir kebisingan selama persinggungan mereka dengan JNB.

Semua kebisingan ini bermula dari proses ekperimental awal mereka untuk menampilkan musik eksperimental itu sendiri dalam bentuk noisebombing. Noisebombing sendiri merupakan praktik pertunjukan noise ilegal yang dibuat secara sederhana dengan menggunakan amplifierkecil dan beberapa peralatan lainnya yang bisa di angkut menggunakan sepeda motor untuk kemudian dibawa berkeliling ke ruang publik yang memiliki sumber listrik yang dapat mereka gunakan dalam pertunjukan mereka. Setelah menemukan tempat yang pas, mereka akan mulai mempersiapkan set sederhana yang mereka bawa lalu bernoise ria hingga satpam atau preman setempat mengusir dan mereka akan kembali berkeliling mencari lokasi noisebombing selanjutnya.

Hal lain yang menarik dalam penyelenggaraan JogjaNoise Bombing adalah proses kolaboratifnya. Mereka akan mencoba mengkolaborasikan dua pelaku noise yang belum pernah melakukan proses kolaborasi sebelumnya. Dengan konsep ini mereka mendorong dua musisi untuk melakukan diskusi perihal kinerja masing-masing dan selanjutnya mulai berkolaborasi dan menciptakan bebunyian-bebunyian yang unik dalam JNB. Melalui konsep ini juga mereka meyakini bahwa akan lahir koneksi-koneksi yang kuat antar pelaku noise yang diharapkan dapat melahirkan hal-hal baru setelah festival ini, baik berupa album atau pun tur bersama.



Dalam proses gerilya kota yang di lakukan JNB, semangat doityourself juga menjadi hal yang paling terasa, mulai dari proses memulai noisebombing, set DIY seperti synthesizer buatan seniman lokal dan juga pembagian peran dalam pelaksanaan kegiatannya sehingga roots punk atau underground juga seakan dihadirkan dalam JNB.
Lanskap kota Jogja sebagai lokasi mereka berkegiatan juga merupakan salah satu nilai lebih yang mereka miliki sehingga proses noisebombing jalanan hingga festival seperti Jogja Noise Bombing dapat terlaksana hingga saat ini. Secara demografi, Jogja juga dikenal sebagai salah satu pusat seni dan budaya di Indonesia sehingga tingkat toleransi masyarakatnya terhadap hal-hal baru dan tak terduga juga lebih besar sehingga noise dapat lebih cepat diterima di kota ini. Dan yang paling penting, yang membesarkan JNB adalah ikatan yang kuat antar pelaku noisenya sendiri, paling tidak itu yang diungkapkan banyak pihak dalam buku ini.
Namun dari sudut pandang pembaca seperti saya, pemilihan narasi pada Bab 3: Meet the Jogja Noise Bombers yang berupa kumpulan interview dengan banyak pelaku noise di Jogja serasa cukup membosankan pembaca dikarenakan pertanyaan yang seragam pada banyaknya pelaku noise yang diinterview menimbulkan banyak perulangan walau menggunakan cara penuturan yang berbeda-beda.
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, JNB merupakan kolektif yang sedang tumbuh dan akan terus tumbuh hingga beberapa tahun ke depan. seperti yang dikatakan Soni Triantoro (WarningMagz) JNB sebagai budaya popular mengacu pada gagasan neo-Gramscia nadalah medan pertarungan budaya subbordinat dan budaya dominan yang akan saling bergantian dan berebut ruang. Setelah grunge, pop punk, nu metal, indierock, emo, EDM, siapa tahu giliran berikutnya yang akan mendapatkan atensi lebih dari masyarakat adalah noise? Namun paling tidak, dengan terbitnya buku ini, kebisingan dari JogjaNoise Bombing telah menginvasi dimensi yang baru dan berbeda; buku/tulisan.


Jogja Noise Bombing: From The Street To The Stage Jogja Noise Bombing: From The Street To The Stage Reviewed by Kedai Buku Jenny on February 12, 2019 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.